Oleh Sandryaka Harmin
Hai, aku adalah si patah dari Oktober yang mencoba sembuh, tapi ternyata aku telah mati rasa.
Seandainya bisa.
Dari awal, seharusnya aku tak memberitahumu apa pun. Pikirku, aku telah menemukan telinga sekaligus pundak yang tepat. Dan aku mempercayaimu sebagai pribadi itu. Maaf, karena tidak bertanya dulu padamu; apakah kamu mampu dan mau mendengar ocehan gadis cerewet ini? Apa kamu benar-benar akan merangkul, memeluk atau bahkan menjadi rumah bagiku, setelah aku membagi semua cerita pilu itu denganmu? Pikirku kau pasti paham.
Semua beban itu seharusnya kusimpan sendiri.
Setidaknya agar kamu hanya menjadi salah satunya. Jangan menjadi ke dua-duanya; luka sekaligus obat. Maksudku; luka, ya luka saja. Atau menjadi obat, ya ambil saja peran itu; jangan mencampurinya dengan racun. Mengenai ini, aku terlalu mengandalkan logika ku, setidaknya jika kamu tahu sudah separah apa hati ku, mustahil kamu juga turut melebarkan luka, menjadikan nya semakin perih- semakin aku tak tahu harus apa.
Dan, ternyata aku salah. Salah besar.
Kamu dengan egoisnya mengambil kedua peran itu. Mungkin katamu; “Ahhhh, sepertinya seru mempermainkan si gadis menyedihkan ini” Sedangkan kamu tahu untuk kembali kecewa atau untuk menangisi diri sendiri, aku sudah kebal. Kamu hanya membuatku semakin mati rasa. Bagaimana tidak? Aku telah melewati begitu banyak rasa, hingga tiba di titik ini. Titik dimana aku menjadi semakin masa bodoh.
Dan oktober sewaktu itu, benar-benar mematahkan hatiku.
Aku harus apa? Apa yang harus aku lakukan kali ini? Tetap diam? Dan kamu masih tetap berulah. Menjadi rumah untuk ku namun penghuninya banyak sekali ada si dia, dia dan dia, entah berapa banyak jumlahnya. Aku takut bisikan piluku di “rumah” terdengar oleh mereka lalu bersama mengejek, “Ehh kata nya kuat, kok baru segitu udah nangis?” Seandainya kau tahu, aku benar-benar hancur waktu itu. Aku menghadapi semua nya sendirian tanpa kamu, tanpa mereka; aku seorang. Dan aku mampu melewati masa-masa itu. Namun baru aku sadari aku telah mati rasa.
Aku menemukan diriku yang paling rusak dan kacau tapi paling kuat.
Prosesnya terlalu panjang dan cukup berat untuk takaran gadis cengeng ini. Bohong jika sampai disini tak ada air mata. Jangankan menangis, untuk bisa merasa sedih sekalipun aku sudah tak tahu bagaimana caranya. Aku mati rasa.