METRUM.ID – Aliansi Gerakan Timor Raya (AGTOR) menggelar aksi damai di Kota Kupang, Pada (10/3/2025). Mereka memulai aksi dari Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) lalu melanjutkannya ke DPRD Provinsi NTT.
Mereka memanfaatkan Hari Perempuan Internasional untuk menyuarakan berbagai persoalan sosial yang terus terjadi akibat kebijakan pemerintah. Mereka menuntut hak-hak perempuan, menyoroti ketimpangan agraria, serta menolak kebijakan pemangkasan subsidi dalam Perpres Nomor 1 Tahun 2025.
AGTOR menempatkan konflik agraria di Pubabu-Besipae sebagai isu utama dalam aksi ini. Pemerintah terus membiarkan masyarakat Pubabu menghadapi penggusuran sepihak, perampasan lahan, serta berbagai tindakan represif seperti pemukulan, teror, intimidasi, dan penangkapan. Lebih dari satu dekade mereka berjuang, tetapi pemerintah tetap mengabaikan kepastian hukum atas tanah yang mereka tinggali.
Kronologi Aksi: Harapan Bertemu Gubernur yang Pupus di Tengah Jalan
Pukul 09.00 WITA, massa aksi yang terdiri dari masyarakat Linamnutu, Pubabu, serta mahasiswa yang tergabung dalam AGTOR bergerak menuju Kantor Gubernur NTT. Mereka ingin bertemu langsung dengan Gubernur Melkiades Laka Lena untuk menyampaikan tuntutan.
Namun, sesampainya di kantor gubernur, mereka mendapat kabar mengejutkan. Petugas menahan surat permohonan audiensi dan tidak memberikannya kepada gubernur. Masyarakat Pubabu yang telah menempuh perjalanan tiga jam dari kampung mereka harus menelan kekecewaan.
Tidak ingin pulang tanpa kepastian, mereka langsung bergerak menuju Kantor DPRD NTT. Mereka berharap para wakil rakyat mau mendengarkan suara mereka.
Audiensi dengan DPRD NTT: Mengurai Masalah yang Berlarut-larut
Di kantor DPRD, massa aksi berdialog dengan Komisi II DPRD NTT. Ketua Komisi memimpin pertemuan ini. Beberapa anggota DPRD hadir bersama perwakilan aset daerah dan Dinas Peternakan.
Koordinator AGTOR, F.A., menegaskan bahwa masyarakat ingin mengetahui sejauh mana perkembangan penyelesaian konflik Pubabu-Besipae. Ia meminta DPRD memberikan kejelasan mengenai langkah-langkah yang telah mereka tempuh dalam menangani kasus ini.
Selain itu, F.A. mengungkap dugaan pungutan liar yang Kepala Desa Linamnutu berlakukan terhadap para petani. Kepala desa memaksa pemilik ternak membayar denda sebesar Rp500.000 jika mereka tidak memiliki kandang. Ironisnya, peraturan desa ini tidak mendapat asistensi dari kabupaten dan bahkan tidak memiliki nomor registrasi resmi. Akibatnya, puluhan warga harus membayar denda, termasuk salah satu korban yang terpaksa membayar lebih dari Rp15 juta.
Di sisi lain, Imanuel Tampani, perwakilan masyarakat Pubabu, mempertanyakan keabsahan sertifikat tanah yang pemerintah gunakan saat menggusur masyarakat pada tahun 2020. Ia mengungkap fakta mencengangkan: pemerintah baru melepas sertifikat tanah itu pada Oktober 2020, meskipun mereka telah menggusur masyarakat sebelumnya. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai dasar hukum yang mereka gunakan untuk mengambil tanah masyarakat.
“Kami Takut Membangun, Takut Tergusur Lagi”
Daud Selan, perwakilan lainnya, menyuarakan kekecewaan mendalam atas ketidakpastian yang terus menyelimuti masyarakat Pubabu. Ia menegaskan bahwa konflik ini telah menarik perhatian hingga tingkat internasional, tetapi pemerintah tetap tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikannya.
“Kami tidak menolak pembangunan. Kami ingin mendukung setiap program pemerintah, tetapi yang kami butuhkan adalah kepastian atas tanah kami. Kami ingin tahu dengan jelas di mana batas wilayah kami. Jika kondisi ini terus terjadi, kami bahkan lebih memilih mencari perlindungan ke Australia atau Timor Leste daripada hidup di tanah sendiri tetapi terus diperlakukan seperti orang asing,” ujarnya dengan suara lantang.
Lebih jauh, ia menggambarkan ketakutan yang terus menghantui masyarakat.
“Hari ini, kami bahkan takut membangun rumah. Bahkan untuk mendirikan sebuah WC saja, kami ragu. Kami takut setelah semua itu berdiri, pemerintah datang lagi dan meratakannya. Hidup di tanah sendiri seharusnya memberi rasa aman, bukan ketidakpastian yang tak berujung,” tambahnya dengan tegas.
Respons DPRD NTT: Harapan atau Sekadar Janji?
DPRD NTT berjanji akan mencari solusi dan segera berkoordinasi langsung dengan Gubernur NTT. Mereka meminta masyarakat Pubabu mengumpulkan bukti-bukti yang cukup agar mereka bisa menindaklanjuti masalah ini.
Namun, masyarakat Pubabu dan AGTOR tetap meragukan janji tersebut. Mereka sudah terlalu sering mendengar kata-kata serupa tanpa hasil nyata. Hingga kini, pemerintah terus menunda penyelesaian kasus ini, sementara masyarakat terus hidup dalam ketidakpastian.
Tuntutan AGTOR: Suara untuk Keadilan
AGTOR menegaskan empat tuntutan utama kepada pemerintah :
- Menjamin kepastian hak atas tanah bagi masyarakat Pubabu-Besipae
- Menghentikan segala aktivitas di Pubabu-Besipae sebelum ada penyelesaian yang adil
- Meminta Pemprov NTT bertanggung jawab atas kerugian yang masyarakat alami
- Menjalankan reforma agraria sejati dan membangun industrialisasi nasional yang mandiri dan berdaulat
Aksi ini kembali menegaskan bahwa perjuangan masyarakat Pubabu-Besipae belum berakhir. Mereka akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar mereka dapatkan.***